Ainu, Suku Minoritas di Jepang yang Hampir Hilang Karena Modernisasi dan Diskriminasi
Kalau Indonesia sangat membanggakan keberagaman suku dan budayanya, Jepang tidak demikian. Sejak era kekaisaran Jepang berdiri, negeri ini menginginkan adanya homogenitas di negerinya. Di kepulauan itu hanya boleh ada orang Jepang asli dan tidak diperkenankan adanya suku minoritas yang berbeda dengan mayoritas yang tinggal di pulau-pulau utama.
Ainu adalah salah satu suku asli di kawasan kepulauan Jepang khususnya Hokkaido dan kawasan utara mendekati Rusia. Keberadaan mereka bagi pemerintah Jepang seperti aib karena secara bahasa, budaya, dan pernak-pernik lain sangatlah berbeda. Akhirnya mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi sejak Kekaisaran Tokugawa di tahun 1600-an dan Restorasi Meiji di abad ke-19.
Suku asli yang mendiami sebelah utara dari Jepang ini akhirnya ditekan, dipaksa berasimalisi, hingga dijadikan budak hingga jumlahnya terus menurun. Berikut kisah miris dari penduduk Ainu yang terbuang di tanahnya sendiri.
Asal-Usul Suku Ainu di Jepang
Masyarakat Ainu dipercaya sudah ada sejak zaman Jomon atau sekitar 14.500 tahun yang lalu. Mereka hidup di kawasan Hokkaido dan pulau kecil lain yang terletak di utara Jepang. Mereka melakukan aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan dan belum begitu mengenal adanya teknologi untuk bercocok tanam.
Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat di kawasan ini mulai melakukan migrasi-migrasi ke daratan utama Jepang. Mereka melakukan perdagangan, menikah, dan akhirnya meninggalkan budaya yang telah mereka punyai di kawasan Hokkaido. Merak dituntut untuk sama dengan penduduk Jepang mayoritas yang secara fisik memiliki banyak perbedaan.
Kontak Jepang dengan Suku Ainu
Kontak Jepang di pulau utama seperti Honshu dengan penduduk Ainu banyak terjadi pada Kekaisaran Tokugawa di tahun 1600-an hingga memasuki era Meiji. Pada dinasti Tokugawa, masyarakat Ainu diminta untuk menyesuaikan diri. Mereka diwajibkan mempelajari budaya Jepang dan meninggalkan budaya asli Ainu yang telah ada sebelum masyarakat Matahari Terbit ini membentuk peradaban.
Saat Jepang memasuki era Meiji, ketidakadilan pada etnis ini kembali terjadi. Homogenitas yang dijunjung tinggi membuat banyak orang Ainu diperlakukan dengan tidak baik. Mereka dijadikan budak dan dianggap sebagai suku rendahan. Oh ya, berdasarkan penelitian, pada abad ke-18 ada sekitar 80.000 Ainu hidup di era Meiji. Jumlah itu anjlok menjadi 18.000 saja saat Meiji mulai kebarat-baratan.
Asimilasi dan Penolakan Identitas Diri
Jepang memiliki dua pilihan kepada para etnis Ainu yang hidup di wilayahnya. Pertama diakui keberadaannya, tapi seluruh praktik kebudayaannya harus hilang. Atau dibiarkan begitu saja dengan kebudayaannya hingga dihukum karena tidak sesuai dengan kebudayaan yang ditetapkan agar homogenitas di Jepang tidak rusak begitu saja.
Menggunakan Bahasa Ainu, menggunakan baju atau identitas Ainu lain sangatlah dilarang. Apa saja yang terkait dengan Ainu tidak perkenankan ada. Bahkan bila perlu dilenyapkan begitu saja agar keaslian dari Jepang tidak tercampur dengan minoritas yang secara historis sudah tinggal dahulu di kepulauan Jepang khususnya belahan utara.
Perjuangan Ainu untuk Terus Eksis dan Diakui
Bukan Ainu namanya kalau menyerah begitu saja saat ditekan oleh pemerintah Jepang agar kebudayaannya hilang untuk selama-lamanya. Mereka tetap berjuang dengan cara apa pun agar keberadaannya diakui oleh dunia internasional dan tidak terus didiskrimasi dengan cara yang sangat kejam.
Beberapa aktivis dari Ainu berusaha mengenalkan lagu dan musik dari Ainu ke banyak tempat di dunia. Mereka pun juga mulai terlibat dalam dunia politik di Jepang untuk menuntut kesetaraan dan tidak terus ditekan karena dianggap tidak sejalan dan hanya mencemari suku asli Jepang.
Demikian ulasan tentang suku Ainu. Keberadaan mereka sama seperti Rohingya atau Uyghur yang ditekan oleh negaranya agar lenyap. Semoga keberadaan Ainu tetap terus ada dan suku-suku minoritas lain tetap bertahan meski ditekan oleh modernisasi.
No comments: