Bukan Hanya Emas yang Dikeruk Habis, Freeport juga Telah Menimbulkan Kerugian Ini
Salah satu isu hangat yang jadi perhatian publik Indonesia saat ini adalah soal Freeport. Tarik ulur antara pemerintah Republik Indonesia dengan PT Freeport Indonesia menyoal perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masih alot dinegosiasikan. PTFI mengancam akan membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional apabila kemauan mereka tidak disepakati oleh pemerintah kita.
Kali ini, kita tak akan repot membahas polemik kontrak tersebut. Soal itu, biarkanlah pak Joko Widodo bersama jajaran menterinya yang mengurus. Kita doakan saja semoga keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi negara kita. Dalam artikel ini kita hanya akan sedikit mengulik beberapa dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh perusahaan asal Amerika tersebut selama 50 tahun beroperasi di Indonesia.
1. Keuntungan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir petinggi
Sudah bukan rahasia lagi bahwa tambang Erstberg dan eksplorasi mereka selanjutnya yang menemukan tambang Grasberg di Papua sana menyimpan cadangan bijih emas, perak, dan tembaga yang seolah tak ada habisnya. Pada tahun 2016 kemarin saja, keuntungan Freeport dari semua hasil penjualan produk tambang tersebut ditaksir mencapai Rp21 triliun.
Tragisnya, mayoritas pemasukan tersebut hanya dinikmati kalangan petinggi perusahaan. Belum lagi keberadaan unsur-unsur mineral lain yang bukan tidak mungkin hanya Indonesia yang memilikinya dalam jumlah banyak, seperti uranium. Jelas hal itu akan semakin membuat gemuk rekening mereka.
2. Dampak sosial yang memprihatinkan bagi masyarakat di sekitarnya
Masih berkaitan dengan poin di atas, ternyata keuntungan maha besar yang diperoleh Freeport tak serta merta dirasakan oleh para penduduk di sekitarnya. Terdapat kesenjangan lebar antara mereka yang bekerja di Freeport dengan penduduk setempat.
Para penduduk asli yang tinggal di komplek pertambangan tersebut ternyata hanya menempati Indeks Pembangunan Manusia ke 212 dari 300an lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Sebagian besar penduduknya kesulitan memperoleh akses kesehatan atau sekadar air bersih untuk kehidupan mereka sehari-hari.
Lingkup area pertambangan semakin luas, sedangkan wilayah permukiman penduduk semakin tersingkir. Area modern di sekitar Timika hanya ditempati oleh kalangan pendatang yang biasanya merupakan para profesional atau ekspatriat dari Freeport. Ironis bukan, ketika kita melihat adanya permukiman kumuh di sekitar kawasan industri pertambangan terbesar, yang bukan hanya di Asia saja, tapi juga di dunia.
3. Pelanggaran HAM yang kebenarannya tak pernah tersorot oleh media
Salah satu yang paling memprihatinkan adalah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua tersebut. Masyarakat asli yang berasal dari Suku Amungme dan Suku Komoro yang merupakan pemilik sejati kekayaan di sekitar daerah itu, tersisih begitu saja oleh tangan-tangan kapitalisme yang menguasai pertambangan tersebut.
Seorang ahli Antropologi bernama Chris Ballard dan aktivis HAM dari Amerika Serikat, Abigail Abrash, mengestimasi bahwa selama kurun waktu 1975 hingga 1997 sedikitnya 160 orang telah tewas. Para pelakunya merupakan militer negara kita yang diduga telah memperoleh kompensasi tinggi dan perlindungan dari Freeport sehingga mereka dapat lolos dari jerat hukum.
Bahkan, pada tahun 2014 lalu, mengacu pada hasil penyelidikan dan pemantauan yang telah dilakukan, Komnas HAM menyatakan kalau Freeport diduga kuat telah lalai menjalankan tugas yang mengakibatkan 28 nyawa pekerjanya tewas. Kejadiannya sendiri terjadi pada tanggal 14 Mei 2013, ketika itu terowongan Big Gossan yang menjadi salah satu akses masuk para pekerja ke pertambangan, runtuh.
4. Pencemaran lingkungan yang tak main-main
Terlepas dari banyak atau sedikitnya permintaan negara-negara di dunia terhadap logam mulia yang dihasilkan, Freeport tak pernah menunjukkan tanda-tanda untuk mengurangi daya produksi mereka. Hal ini tentu saja semakin melipatgandakan keuntungan yang mereka dapatkan. Hal yang berbanding lurus dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan mereka. Pada awal berdirinya, Freeport hanya mendapat wilayah konsesi seluas 10 ribuan hektar. Sedangkan, saat ini wilayah mereka telah mencapai 2,6 juta hektar.
Dari total luas wilayah dan masa mereka beroperasi, Freeport telah menimbulkan dampak lingkungan yang tak main-main. Limbah batuan yang berasal dari tambang Grasberg berpotensi membentuk asal limbah bantuan. Serta yang paling parah adalah tingginya tingkat racun tailing dan logam berat yang telah mencemari lingkungan perairan serta ekosistem flora dan fauna yang ada di sekitarnya.
PT Freeport Indonesia juga selama ini belum pernah lagi mengumumkan dokumen-dokumen penting terkait bukti tanggung jawab mereka terhadap dampak lingkungan sosial yang dihasilkan. Sejak tahun 1999. Freeport juga tak pernah mengumumkan laporan audit eksternal independen tiga tahunan yang seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan sebesar mereka.
Freeport bisa seperti sekarang karena pemerintah menilai bahwa sumber daya manusia maupun teknologi yang tersedia Indonesia dinilai belum mampu mengelola pertambangan besar ini. Terkait dengan negosiasi yang masih berlangsung, semoga saja pemerintah saat ini berani mengambil kebijakan yang paling tepat yang dapat membawa era baru untuk perubahan Indonesia yang lebih maju.
No comments: