Kisah Dokter-Dokter Berhati Mulia Ini Ditangisi Banyak Orang Karena Kebaikannya
Dokter, profesi yang diraih dengan banyak mengorbankan waktu dan uang. Kenyataannya, menjadi dokter membutuhkan minimal 6 tahun berkutat dengan diktat dan praktek. Pun, ratusan juta rupiah harus keluar dari kocek untuk bisa menyandang gelar ini. Mungkin hal itu yang membuat penggunaan jasa dokter terkenal mahal. Karenanya, banyak yang berkata,”orang miskin tidak boleh sakit”. Yang berarti, penggunaan jasa dokter dan biaya masuk rumah sakit hanya bisa dijangkau orang-orang beruang saja.
Perjuangan menjadi dokter yang tidak mudah, ternyata tidak lantas membuat beberapa dokter jadi matre. Dan terbukti ada beberapa dokter yang sangat murah hati terutama pada rakyat jelata. Jangankan mematok harga tinggi untuk pelayanannya, mereka justru menggratiskan biaya pengobatan. Tak jarang dokter-dokter ini malah memberi uang untuk menebus obat. Wah, baik sekali bukan? Karena itu saat mereka meninggal dunia, banyak orang yang merasa kehilangan hingga menangis tersedu-sedu. Siapa saja mereka? Berikut ini ulasannya.
Dokter Oen Boen Ing
Meski telah tiada, dokter berdarah Tionghoa ini masih dielu-elukan masyarakat Solo karena kebaikannya. Biasa memulai praktek jam 03.00 dini hari, masyarakat yang datang sudah berjajar rapi mengantri sebelumnya. Bagi masyarakat Solo, dokter kelahiran 3 Maret 1903 itu bagaikan malaikat penolong. Pasalnya, tiap kali ditanya berapa biayanya, dokter Oen selalu menjawab ‘seikhlasnya’. Tak jarang ia hanya menerima ucapan terima kasih dari para pasien. Selama pasiennya membaik dan sembun, dokter Oen sudah sangat merasa bahagia.
Setelah menyelesaikan pendidikan dokternya, dr. Oen mengabdikan diri di Poliklinik Kesehatan Tsi Sheng Yuan dan saat ini dikenal dengan Rumah Sakit Panti Kosala. Pada masa pendudukan Jepang, tempat praktek dr. Oen berfungsi sebagai tempat darurat untuk membantu para pejuang. Bahkan saat itu, tempat ini juga menyediakan penisilin untuk Jenderal Sudirman yang menderita TBC.
Selama hidupnya, dr. Oen mengabdi kepada semua orang tanpa memandang status atau golongan. Dokter tanpa pamrih ini tak segan-segan mengobati gelandangan hingga keluarga keraton, semuanya dianggap sama rata. Meski pada tahun 1944 ia diangkat menjadi dokter pribadi Istana Mangkunegara, namun ia tetap saja mendahulukan siapa saja yang lebih membutuhkan pertolongan. Karena loyalitasnya membantu banyak orang tanpa pamrih, dr. Oen mendapatkan penghargaan Satya Lencana Bhakti Sosial dari pemerintah. Setelah meninggal tanggal 30 Oktober 1982, namanya diabadikan dalam rumah sakit dr. Oen dan tanggal lahirnya 3 Maret digunakan sebagai peringatan HUT RS dr. Oen Surakarta.
Dokter Lie Dharmawan
Dokter kelahiran Padang ini menjalani masa kecil dalam keluarga yang amat kekurangan. Ayah ibunya bekerja apa saja demi mencukupi keluarga. Tak jarang Lie kecil ikut berjualan kue dan membantu mencucikan baju-baju orang lain. Tekadnya menjadi dokter tumbuh sejak melihat adiknya meinggal karena penyakit diare akut. Ketidakberadaan uang membuat keluarganya terlambat membawa adiknya ke dokter.
Lie memutuskan kuliah di Jerman tanpa bantuan beasiswa, karena sebelumnya ia tidak di terima di berbagai universitas kedokteran di Indonesia. Akhirnya, untuk membiayai kuiahnya ia bekerja sebagai kuli bongkar muat barang, bekerja di panti jompo dan semua pekerjaan yang bisa dilakukan. Tak disangka, di Jerman ia berhasil mengantongi gelar Ph. D dengan spesialisasi ahli bedah umum, bedah torak, jantung, dan pembuluh darah.
Setelah pulang ke Indonesia ia mendirikan yayasan DoctorShare dan Rumah Sakit Apung (RSA). Bersama Lisa Suroso, ia memberikan layanan medis dan kemanusiaan secara cuma–cuma di berbagai wilayah Indonesia. Yayasan DoctorShare juga berhasil mendirikan Panti Rawat Gizi di Maluku Tenggara.
Rumah Sakit Apung (RSA) hanyalah sebuah kapal sederhana dari kayu yang mempunyai beberapa bilik untuk merawat pasien inap atau pasien pasca operasi. Bersama RSA, dr. Lie berlayar ke berbagai pelosok negeri untuk membantu masyarakat kurang mampu yang butuh perawatan kesehatan segera. Karena tindakannya, banyak yang menyebut dr. Lie sebagai dokter gila.
Dokter Lo Siaw Ging
Merupakan dokter kelahiran Magelang, dokter Lo selama berpraktek tidak pernah meminta bayaran sama sekali. Malahan, pasien yang tidak mampu menebus obat dibantu untuk membayarnya. Keputusan dr. Lo untuk menjalani profesi seperti ini adalah untuk menjalankan amanah ayahnya, yaitu “menjadi dokter jangan berdagang”. Artinya, menurut Lo profesi dokter adalah menolong orang sakit dan bukan menjual obat. Jika ingin kaya maka seharusnya menjadi pedagang, bukan menjadi dokter. Prinsip itulah yang selalu ia pegang teguh sebagai dokter.
Dokter Lo Siaw Ging ternyata masih terbilang rekan dr. Oen, selama hampir 15 tahun bekerja dengan dr Oen, ia banyak belajar menjadi dokter yang baik dari seniornya itu. Keistimewaan dokter yang lahir pada 16 Agustus 1934 ini adalah ia selalu tahu pasien yang tidak punya uang untuk membayar. Maka, ia terbiasa memberikan pasien seperti ini resep dan menyuruh si pasien mengambil obat di apotek tanpa membayar. Justru, sang dokter di akhir bulan akan membayar biaya obat pada apotek.
Perlakuan ini bukan hanya untuk pasien yang periksa di tempat prakteknya, tapi juga untuk pasien rawat inap di rumah sakit tempatnya bekerja. Setiap bulannya, hampir 8-10 juta ia sisihkan untuk biaya rumah sakit maupun obat pasien yang tidak mampu membayar. Karena itu, alumni Universitas Airlangga tahun 1962 itu selalu hidup sederhana. Beruntungnya, istrinya selalu mendukung baktinya pada sesama. Sang istri tidak pernah mengeluh meski tinggal di rumah tua yang tidak pernah berubah sejak dibangun. Bukan rumah mewah bertingkat seperti dokter pada umumnya. Karenanya, ketabahan sang istri juga merupakan sesuatu yang disyukuri dr. Lo.
Ternyata di dunia ini masih ada beberapa orang yang lebih mementingkan orang lain dari dirinya sendiri. Rela mengorbankan waktu, materi, dan bahkan kenyamanan hidup yang seharusnya mudah diraih para dokter.
No comments: