Beginilah Derita Seorang Penjaga Warnet yang Sering Dianggap Angin Lalu
Kemajuan teknologi sudah semakin mirip kereta peluru Jepang; cepat dan mewah. Semua sektor teknologi berlomba-lomba melakukan inovasi yang paling fresh. Termasuk jaringan internet. Sekarang ini, mencari koneksi internet yang kenceng dan super ngebut bukanlah perkara sulit. Di mana-mana terdapat Wi-Fi gratisan, entah itu di kafe, kampus, bahkan di jalan-jalan. Operator provider pun juga tak ingin kalah dengan menyediakan jaringan internet yang gak kalah kencengnya dengan jaringan Wi-fi. Pokoknya, jaman sekarang kalau mau internetan mah gampang. Beda dengan jaman dulu yang kalau mau internetan harus pergi ke warnet dulu.
Akibat dari majunya teknologi, usaha warnet jaman sekarang makin kembang kempis dan kelimpungan. Tapi mereka masih ada sampai saat ini, walaupun dengan nafas ngos-ngosan. Si penjaga warnet tetap setia menunggu pelanggan datang dan sambil jadi operator. Sepinya pelanggan, otomatis memadamkan rejeki sang abang warnet perlahan-lahan. Di samping itu, masih ada sederet beban yang harus mereka tanggung saat bekerja, seperti berikut ini.
1. Kesabaran Diuji Habis-Habisan
Jadi penjaga warnet itu kayak jadi tokoh protagonis sinetron, kudu sabar sama klien atau pelanggan yang menjema menjadi tokoh antagonis. Mereka nggak bakal segan-segan bikin penjaga warnet naik darah. Seperti pelanggan yang cerewet. Bilang komputernya lemot lah, koneksinya lelet lah, earphone-nya nggak enak lah. Pokoknya bikin penjaga warnet bawaannya pengen nabok pakek keyboard.
Kadang-kadang juga mereka jadi sok tau dan ngeyel. Kalau sudah kayak gini, bukannya pengen nabok sama keyboard, tapi sekalian pakek CPU. Tapi, sebagai seorang operator yang tetap bersikap profesional, penjaga warnet harus bisa meredam amarahnya. Mereka melayani pelanggan yang yang ngeselin itu walaupun rasanyan pengen nelen CPU.
2. Gaji Cuma Cukup Buat Makan dan Beli Kopi
Yah, namanya juga penjaga warnet, gajinya pasti di bawah UMR. Gaji jutaan bagi seorang penjaga warnet ibarat gelandangan pengen nikah sama Aura Kasih; ibarat mahasiswa pengen lulus tanpa harus ngerjain skripsi alias mustahil.
Gaji seorang penjaga warnet itu kira-kira seperempatnya UMR, atau sepersekian sekiannya gaji pegawai negeri. Cuma cukup buat beli makan dan ngopi. Kadang-kadang kalau ada bonus dari juragan bisa dipakai buat bayar hutang. Makanya orang di posisi ini sering datang dan pergi, karena penghasilannya nggak pasti.
3. Shift Kerja Ala Perawat dengan Bayaran Ala Pos Ronda
Jadi operator warnet yang kena shift malam itu tak ubahnya karyawan kantoran lagi lembur. Seharian melototin monitor pastinya bikin mata capek. Biasanya, mereka akan toleh kanan, toleh kiri, padahal juga nggak ada yang mau dilihat. Ya cuma sekedar berusaha ngilangin ngantuk. Shift malam bisa berlanjut sampai pagi seperti perawat jaga malam di rumah sakit.
Jerih payah mereka paling banter diganjar sama kopi dan cemilan seadanya. Kadangkala mereka berharap bisa cepat pulang, apa daya user kadang nggak peka padahal teralis warnet sudah ditutup separuh dan mereka masih asyik online gaming.
4. Siap-Siap Serangan Jantung dan Darah Tinggi
Pas lagi enak-enaknya internetan, pelanggan lagi anteng, tiba-tiba listrik mati. Padahal yang matiin listrik PLN, tapi operator kadang kena semprot juga. Ancaman lain yang bisa aja bikin darah tinggi adalah ISP (internet service provider) yang tiba-tiba menjadi lelet. Kalau buat si penjaga sih nggak masalah. Tapi bakal jadi masalah kalau sampai user protes gara-gara koneksinya lemot.
Yang mau ngebenerin koneksinya juga nggak tau gimana caranya. Akhirnya jadi bingung sendiri, dan berusaha menengankan pelanggan dengan kata, “Maaf, Mas, mungkin ada sedikit gangguan dengan servernya.”
Menjadi seorang penjaga warnet ibarat belajar hidup di sinetron; banyak adegan yang bikin nangis. Penderitaan datangnya nggak kira-kira dengan gaji seadanya. Tapi pekerjaan yang sering jadi batu loncatan ini, pada akhirnya memberi banyak pengalaman supaya bisa lebih ‘strong’ di level berikutnya. Bersakit-sakit dahulu, dapat kerjaan lebih baik kemudian.
No comments: