Header Ads

Buangan PKI Hingga Tambang Emas, Ini Fakta Pulau Buru yang Tak Banyak Orang Tahu



Buru merupakan salah satu pulau yang terletak di antara gugusan kepulauan Maluku. Populasinya terdiri dari etnis asli yang sama dengan nama pulaunya, Buru, sedangkan sisanya merupakan pendatang, seperti suku Ambon, Ambalau, Buton, Bugis dan Jawa.


Pulau ini menyimpan berbagai fakta memilukan. Salah satunya, pulau ini menjadi saksi sejarah, sebagai tempat pengasingan para tahanan politik (Tapol) yang diberangus oleh pemerintahan era Soeharto. Lalu, apa saja peristiwa yang pernah terjadi di tanah ini? Simak uraian lengkapnya di bawah ini.


Pulau Pengasingan Tapol Orba


Belasan ribu orang yang dituding sebagai simpatisan PKI diasingkan ke pulau ini. Mulai dari tahun 1969 sampai 1976, mereka dikirim secara bertahap. Mereka yang diasingkan dirampas hak-hak kewarganegaraannya. Orang-orang ini dilarang kembali ke tempat mereka berasal hingga waktu yang tidak jelas.


Ketika itu mayoritas bagian pulau masih belum terjamah manusia. Pulau Buru masih banyak diselimuti hutan belantara. Rawa-rawa serta padang rumput dan ilalang liar menjadi pemandangan yang kerap ditemui sepanjang perjalanan.


Pulau Buru
Tapol ketika sedang membuka jalur baru [Image Source]
Maka dari itu, para tapol ini dipekerjakan secara paksa untuk membangun infrastruktur di sana.
Mencabuti rumput-rumput liar, membuka jalur baru di areal hutan, serta membabat pepohonan. Jalanan dan sistem irigasi yang sekarang bisa kita temui di sana merupakan hasil keringat para tahanan politik.


Tapol juga diperintahkan membuka lahan baru untuk kemudian mereka tempati selama masa pengasingan. Lahan yang dibebaskan mereka alih-fungsikan sebagai area persawahan serta ladang untuk kemudian mereka tanami dengan padi, macam-macam tanaman palawija, maupun aneka ragam buah-buahan.


Barak yang mereka bangun seringkali tak memadai untuk dijadikan tempat mereka berteduh dari ekstremnya cuaca di sana. Konon, suhu pada siang hari bisa mencapai 42 derajat dan ketika malam menjelang suhu tersebut bisa menukik hingga 18 derajat.


Kondisi yang mengkhawatirkan ditambah perlakuan keras dari para prajurit penjaga menyebabkan para tapol meninggal akibat berbagai penyakit, seperti malaria, hernia, hepatitis, TBC, hingga asma. Tak sedikit dari mereka yang menghembuskan nafas terakhirnya karena stres akibat semua penderitaan yang harus mereka tanggung. Belum lagi bahaya yang mengintai dari satwa liar, seperti ular berbisa dan hewan buas lainnya yang siap menerkam mereka kapan saja.


Terasingkannya Pramoedya Ananta Toer


Salah satu dari tapol yang diasingkan oleh pemerintahan Soeharto ke pulau ini diantaranya adalah sastrawan legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Bersama puluhan ribu tahanan lainnya, beliau dibawa ke pulau ini tanpa pernah diadili sebelumnya.


Di pulau ini almarhum Pramoedya tetap menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. Meski saat itu kondisinya sangat tak kondusif, sebab beliau bersama para tapol lainnya harus bekerja dari pagi hingga petang. Sehingga waktu yang ia miliki untuk menulis dan membaca sangatlah terbatas. Belum lagi hukuman dari tentara jika sewaktu-waktu aktivitasnya tersebut diketahui.


Pramoedya Ananta Toer [Image Source]
Novel yang ia tulis adalah novel sejarah. Bersama karya lainnya, novel tersebut berhasil diamankan oleh salah seorang rekannya sesama tapol. Pramoedya akhirnya dinyatakan bebas pada 21 Desember 1979. Ketika ia pertama kali ditangkap, ribuan buku dari perpustakaan pribadinya dicuri. Tak sedikit pula yang dibakar.


Tambang Emas


Awalnya mayoritas penduduk di sini menggantungkan nasibnya sebagai petani kayu putih. Namun, sejak 6 tahun silam, atau tahu 2011, mereka banyak yang beralih profesi menjadi penambang emas. Apa pasal? Ternyata, berawal dari mimpi salah seorang warga di sana, di suatu lokasi bernama gunung Botak, yang terletak di Desa Wamsait ditemukan emas.


Sontak, usai penemuan tersebut, sebagian besar para petani kayu putih banting setir menjadi penambang emas. Karena ketimpangan pendapatan dari hasil kayu putih dan logam mulia tersebut, mereka rela terjun menekuni profesi yang terbilang baru bagi awam seperti mereka.


Salah satu lokasi permukiman para penambang emas [Image Source]
Kabar penemuan emas tersebut juga dengan cepat hinggap ke telinga warga luar pulau. Banyak para pendatang yang ikut mengadu nasib ke pulau Buru sebagai pencari emas. Tak jarang, konflik antara etnis asli dan etnis pendatang berakibat pada kematian.


Meski mendatangkan kesejahteraan bagi penduduknya, namun kondisi gunung Botak kini sungguh mengenaskan. Pepohonan tumbang, banyak lubang-lubang hasil galian yang menganga di mana-mana, rerumputan dan semak kini semakin beraturan akibat terinjak oleh ribuan manusia yang dirasuki ketamakkan demi mengeruk emas.


Banyak dari mantan tapol yang hingga kini masih menunggu keadilan dari pemerintah. Para tapol yang masih hidup hingga kini berharap agar negara melalui pemerintah bersedia meminta maaf dan memulihkan nama baik mereka serta memberikan rehabilitasi atau kompensasi sekadar sebagai bekal di hari tua mereka.


No comments:

Powered by Blogger.