Ki Ageng Suryomentaram, Kisah Pangeran Jogjakarta yang Memilih Hidup Sebagai Rakyat Jelata
Namanya memang tidak banyak disebut dalam sejarah Indonesia. Padahal kiprahnya dalam pendidikan dan kemerdekaan tidak bisa dianggap enteng. Dialah Bendara Raden Mas Kudiarmaji, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwana VII. Seorang pangeran keraton yang lebih memilih hidup sebagai rakyat jelata. Konon, BRM Kudiarji merasa gelimang kenikmatan hidup sebagai pangeran membuatnya gelisah. Pasalnya, semua kenyamanan hidupnya otomatis ia dapat tanpa perjuangan. Jadilah sang pangeran memilih jalan hidupnya sendiri.
Perjalanan sebagai rakyat jelata ia mulai dengan membagi-bagikan hartanya kepada masyarakat miskin. Selanjutnya, ia memilh hidup sebagai petani di sebuah desa kecil di Yogjakarta. Meski tak lagi menjadi pangeran, ia tetap mengabdi kepada masyarakat. Yaitu dengan menghidupkan pendidikan rakyat bersama sahabatnya, Ki Hajar Dewantara. Tidak hanya itu, ia juga ikut berjuang bersama PETA untuk meraih kedaulatan Indonesia.
Meninggalkan Keraton dan Gelar Pangeran
Sejak kecil BRM Kudiarmaji memang cerdas. Dengan mudah ia menguasai bahasa Belanda, Arab, dan Inggris sekaligus. Ia juga lulus ujian sebagai Klein Ambtenaar dan magang di kantor gubernur selama 2 tahun. Pengetahuan Islam pun ia dapat dari pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Sampai di usia 18 tahun, BRM Kudiarmaji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.
Kedudukan sebagai pangeran membuatnya mendapat banyak fasilitas. Di antaranya tempat tinggal, gaji bulanan, kendaraan, pengawalan serta tanah tanpa usaha yang berarti. Anehnya, kemudahan hidup yang didapatkan tak lantas mendatangkan kenyamanan hidup. Sang pangeran justru semakin sering gelisah dan tidak bahagia.
Semakin lama berada di Keraton, Pangeran Suryomentaram makin merasa orang-orang hanya menghargai gelarnya. Kebanyakan orang hanya bersikap baik karena kedudukannya sebagai pangeran saja. Di tengah kebimbangannya, terkadang ia diam-diam keluar jauh dari keraton untuk bisa merasakan kehidupan rakyat biasa.
Menjadi Pedagang, Buruh Penggali Sumur, Hingga Petani
Kehidupan luar istana nyatanya benar-benar impian Pangeran Suryomentaram. Di luar keraton, sang pangeran menjelma menjadi pedagang batik dan ikat pinggang. Nama samaran yang kerap dipakainya adalah Natadangsa. Tidak hanya itu, ia pun sempat menjadi buruh galih sumur. Dan sampai di usia 29 tahun, permintaaan pengunduran dirinya sebagai pangeran diterima. Impiannya terwujud, dan ia memilih menjadi petani di Desa Beringin yang berlokasi di lereng Gunung Merbabu. Di tempat inilah, sang pangeran benar-benar lebur gelar ningratnya.
Menggagas Taman Siswa Bersama Ki Hajar Dewantoro
Selepas Perang Dunia I, Ki Gede Suryomentaram aktif dalam sarasehan dengan teman-teman seperjuangannya. Termasuk di dalamnya adalah Ki Hajar Dewantara. Dalam perkumpulan itu, mereka kerap membahas masalah-masalah rakyat Hindia Belanda, khususnya tentang pendidikan. Pertemuan itu akhirnya menghasilkan keputusan pendirian sekolah yang dinamakan Taman Siswa. Ki Ageng sendiri dengan legowo menjadikan rumahnya sebagai gedung sekolah. Hari itu disepakati bahwa Ki Ageng akan fokus mendidik kaum dewasa. Sedang Ki Hajar Dewantara dipilih menjadi pemimpin Taman Siswa.
Tokoh di Balik Pembentukan PETA
Selain tertarik menghidupkan pendidikan rakyat, Ki Ageng juga aktif menentang penjajahan. Di berbagai forum ia mengungkapkan bahwa untuk mengusir penjajah perlu dibentuk tentara. Meski tidak banyak yang mengetahui fakta ini, nyatanya Ki Ageng berperan penting dalam pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk mengobarkan semangat para tentara, Ki Ageng juga membuat tulisan-tulisan penyemangat yang intinya “rakyat diminta berani mati untuk membela tanah air”.Tulisannya biasa disebut Jimat Perang dan kemudian banyak dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya.
Menjadi Penceramah
Setelah Indonesia merdeka, Ki Ageng semakin sering memberikan ceramah kepada rakyat. Isi ceramahnya banyak berbicara tentang pengetahuan tentang kebahagiaan (kawruh beja). Pemikirannya ini kemudian lebih populer dikenal sebagai kawruh jiwa. Intinya, kebahagiaan tidak dimaksudkan hanya sebagai keberlimpahan materi atau tingginya kedudukan. Kebahagiaan menurut Ki Ageng adalah penemuan dan pemahaman yang mendalam akan diri sendiri. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan yang bebas, kebahagiaan yang tidak terikat tempat, waktu, dan keadaan. Sampai akhir hayatnya, Ki Ageng selalu menyuarakan tentang kunci kebahagiaan hidup.
Sampai saat ini, banyak hasil pemikiran Ki Ageng Suryomentaram yang sudah dibukukan baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Bahkan, ada sebuah komunitas yang secara rutin mempelajari pemikiran Ki Ageng dan menghayati wejangan-wejangan beliau. Pemikiran-pemikiran ini dinilai sangat berharga bagi orang yang mengupayakan kebebasan dan kebahagiaan hidupnya.
No comments: